MENAKAR GOOD GOVERNANCE
DI ERA PEMERINTAHAN SBY-BOEDIONO
2009-2014
Oleh:
Hermini Susiatiningsih*
Abstract:
The agenda of implementing good governance the second term of SBY-Boediono government are
very challenging. There are some cases such as Century Bank Gate, Bibit-Candra
Case and other unfair law processes in early SBY-Boediono government need
serious attentions. SBY-Boediono government faces huge public pressures in
relating to combating corruptions, improving public services and satisfying
public needs. Many problems such as improving public services, combating
corruptions, implementing public organization reform, increasing public
participation, transparency and accountability should be handled well in the
near future regarding to some important agendas
Key words: good governance, public service,
government reform, participation
PENDAHULUAN
|
Agenda
besar yang dihadapi pemerintahan SBY-Boediono pada periode 2009-2014 adalah
bagaimana mampu mewujudkan Good Governance pada tataran implementatif dan bukan
retorik semata. SBY dalam kepemimpinan nasional selama ini masih dihadapkan
pada persepsi bahwa SBY masih lebih
banyak bermain politik pada ranah retorika ketimbang tindakan yang nyata dan
cepat untuk mengatasi masalah di lapangan.
Dari
kasus-kasus besar yang menyangkut elite seperti kasus Bank Century, kasus
Bibit-Chandra, kasus Cicak melawan
Buaya, kasus Antasari hingga pada kasus yang menimpa rakyat kecil seperti kasus
Prita Mulyasari, kasus Mbah Minah “mencuri”
buah kakao, dan sebagainya adalah
merupakan fenomena gunung es yang
masih sangat besar potensi masalahnya karena sesungguhnya persoalan pada
kenyataannya masih sangat banyak terjadi di sekitar kita. Ini semua merupakan agenda kebijakan besar
yang sekaligus juga tantangan besar bagi upaya-upaya pemerintahan SBY-Boediono
dalam mengelola pemerintahan di periode kedua SBY ini.
Mesti
beberapa kasus telah “terselesaikan”, ketika artikel ini ditulis, kasus Bank
Century sedang menjadi medan magnit yang
menyedot perhatian publik. Kasus ini merupakan salah satu tantangan berat yang
harus dihadapi dan segera diselesaikan oleh pemerintahan SBY-Boediono saat ini,
karena akan menjadi persoalan politik dan ekonomi yang tidak sederhana bagi
kesinambungan pemerintahan incumbent
sekarang ini.
Oleh
karena itu maka artikel ini akan membahas tentang konsep good governance dan berbagai hal agenda yang seharusnya dilakukan
oleh pemerintahan SBY-Boediono. Pada
tataran yang lebih operasional, beberapa hal akan disinggung dalam tulisan ini
seperti tentang konsep good governance dan juga urgensi indeks good governance. Pada bagian akhir akan
diulas tentang agenda-agenda good
governance macam apakah yang perlu
diselesaikan oleh pemerintahan
SBY-Boediono.
KONSEPSI GOOD GOVERNANCE
|
Dalam
kajian-kajian pemerintahan yang bersifat institusionalisme atau kelembagaan,
pemerintah dimaknai sebagai institusi atau lembaga sedangkan pemerintahan
adalah kerja pemerintah. Inilah yang dimaknai sebagai konsep government.
Dalam arti luas, government diartikan sebagai lembaga-lembaga yang
bertanggung jawab membuat keputusan kolektif bagi masyarakat, sementara dalam
arti sempit, government adalah pejabat politik paling tinggi dalam
lembaga-lembaga itu, yaitu presiden, perdana menteri, dan menteri.
Pemahaman
tentang pemerintah dalam konsep ini menempatkan pemerintah sebagai aktor
dominan bahkan aktor utama dalam penyelenggaraan pemerintahan. Keputusan
kolektif dalam masyarakat dibuat sendiri oleh seorang pimpinan, misalnya
presiden atau kepala daerah, atau oleh satu kelompok (misalnya kabinet).
Peranan masyarakat terbatas sebagai kelompok sasaran dalam pelaksanaan
kebijakan, bahkan partisipasi masyarakat dimaknai secara sempit hanya sebagai
formalitas dalam mendukung legitimasi kebijakan yang dibuat pemerintah. Secara
umum, istilah government lebih mudah dipahami sebagai pemerintah yaitu
lembaga beserta aparaturnya yang mempunyai tanggung jawab untuk mengurus negara
dan menjalankan kehendak rakyat, kecenderungannya lebih tertuju pada lembaga
eksekutif atau kepresidenan (executive heavy).
Selanjutnya ditegaskan bahwa wacana mengenai government lebih mengarah
pada meminimalkan peran negara dan mempromosikan peran sektor swasta atau “limitation
of the state’s roles”. Terdapat
pula diskusi mengenai reformasi aparatur negara (civil service reform),
namun hal ini tidak lebih dari bagian agenda ekonomi untuk penyesuaian
struktural (structural adjustment). Wacana government adalah
fenomena yang berkembang pada abad 20 di mana negara memegang hegemoni
kekuasaan atas rakyat. Ketika negara (pemerintah) memegang hegemoni maka tertib
sosial cenderung ditegakkan secara hierarkhis dan birokratis, dan kurang
mengandalkan pada mekanisme spontan yang dapat berlangsung dari dalam
masyarakat, oleh kekuatan yang ada pada masyarakat itu sendiri. Kegagalan konsep
sentralisasi menyebabkan terjadinya pergeseran paradigma pemerintahan yang
semula menekankan pada institusi pemerintah (government) menjadi governance,
yakni suatu konsep yang memandang pemerintahan sebagai suatu proses yang tidak
lagi bersifat “intra bureaucratic anality” (perspektif yang melihat
aktivitas dan kekuasaan pemerintahan di dalam dirinya sendiri). Kinerja pemerintahan harus dilihat dari interaksi dan
relasi antara berbagai faktor dan aktor di luar birokrasi (Oyugi,
2000: 67-69).
Konsep governance dimunculkan sebagai alternatif
model dan metode governing (proses pemerintahan) yang lebih mengandalkan
pada pelibatan seluruh elemen masyarakat, baik pemerintah, semi pemerintah,
atau non pemerintah, seperti lembaga bisnis, LSM, komunitas, atau lembaga-lembaga
sosial lainnya. Dengan cara pandang itu, sekat-sekat formalitas negara atau
pemerintah menjadi terabaikan. Konsep governance melihat kegiatan,
proses atau kualitas memerintah, bukan tentang struktur pemerintahan, tetapi
kebijakan yang dibuat dan efektivitas penerapan kebijakan itu. Kebijakan bukan
dibuat oleh seorang pemimpin atau satu kelompok tertentu melainkan muncul dari
proses konsultasi antara berbagai pihak yang terkena oleh kebijakan itu (Oyugi,
2000: 30-31).
Dalam konsep ini, pemerintah bukan satu-satunya aktor dan
tidak selalu menjadi pelopor dalam penyelenggaraan pemerintahan. Sebagai
fungsi pengelolaan masyarakat yang kompleks, governance melibatkan
relasi antara berbagai kekuatan dalam negara, yakni pemerintah (state), civil
society, economic society, dan political society (Corbett
2000: 23-27; Keating, 1999: 40-43).
INDEKS GOOD GOVERNANCE
|
Dalam
tataran implementatif, guna mewujudkan good
governance maka diperlukan metode untuk mengukur kapasitas good governance
itu yang sering disebut sebagai pengukuran Indeks
Good Governance (IGG). Pengukuran mengenai indeks tata kelola pemerintahan,
khususnya yang berbasis governance sudah mulai dilakukan sejak tahun
1998 melalui indeks yang disusun oleh Jeff Huther dan Anwar Shah. Namun, selain
indeks tersebut, sebenarnya ada sejumlah pendekatan yang dapat digunakan untuk
menyusun indeks pemerintahan berbasis governance. Secara umum, berbagai
pendekatan tersebut membangun indikator-indikator governance dengan
berlandaskan pada konsep governance yang antara lain terutama
mensyaratkan adanya partisipasi, transparansi, akuntabilitas, dan penegakan
hukum (rule of law).
Secara
khusus, pengukuran Indeks Good Governance (IGG) juga pernah
dilakukan di Indonesia ketika UU No. 22 Tahun 1999 baru diberlakukan.
Pengukuran ini dilaksanakan dalam bentuk Governance and Decentralization
Surveys (GDS) yang
dilaksanakan pada tahun 2002 di sekitar 177 kabupaten/kota di seluruh wilayah
Indonesia. Indikator yang digunakan dalam survei ini mencakup isu-isu governance
seperti: (1) akuntabilitas; (2) partisipasi; (3) penegakan hukum; (4) keadilan;
(5) responsivitas politisi; (6) tingkat KKN; serta (7) kualitas pelayanan
publik. Berbeda dari model-model sebelumnya yang melakukan pengukuran Indeks Good Governance
untuk tingkat pemerintah pusat (nasional), GDS melakukan pengukuran IGG untuk
tingkat pemerintah kabupaten/kota dalam kaitannya dengan pelaksanaan
desentralisasi (Bappenas, 2008: 20-22).
VARIABEL-VARIABEL PENTING DALAM GOOD
GOVERNMENT
|
Mengacu kepada grand design penerapan tata kepemerintahan
yang baik di Indonesia yang telah disusun oleh Tim Pengembangan Kebijakan
Nasional Tata Kepemerintahan yang Baik BAPPENAS, sekurang-kurangnya terdapat empat belas nilai
yang menjadi prinsip tata kepemerintahan yang baik (Bapenas, 2008: 5-15), yaitu
:
1.
Wawasan ke Depan (Visionary);
2.
Keterbukaan dan
Transparansi (Openness and Transparency);
3.
Partisipasi Masyarakat (Participation);
4.
Tanggung Gugat
(Accountability);
5.
Supremasi Hukum
(Rule of Law);
6.
Demokrasi
(Democracy);
7.
Profesionalisme dan
Kompetensi (Profesionalism and Competency);
8.
Daya Tanggap
(Responsiveness);
9.
Efisiensi dan Efektivitas (Efficiency
and Effectiveness);
10. Desentralisasi (Decentralization);
11.
Kemitraan dengan Dunia Usaha Swasta dan Masyarakat (Private and Civil
Society Partnership);
12.
Komitmen pada Pengurangan Kesenjangan (Commitment to
Reduce Inequality);
13.
Komitmen pada Perlindungan Lingkungan Hidup (Commitment to
Environmental Protection);
14. Komitmen pada Pasar yang Fair (Commitment to Fair
Market).
Pada saat ini, mengingat demikian luasnya cakupan substansi
permasalahan tentang penyelenggaraan pemerintahan, maka penerapan prinsip
tersebut dalam penyelenggaraan pemerintahan sekarang ini masih menunjuk pada
empat indikator utama (Bapenas, 2008: 15)
yaitu:
1. Transparansi (Openness and Transparency).
2. Partisipasi Masyarakat (Participation).
3. Akuntabilitas/Tanggung Gugat (Accountability).
4. Supremasi Hukum (Rule of Law).
Keempat prinsip tersebut di atas lah yang oleh Tim
Pengembangan Kebijakan Nasional Tata Kepemerintahan yang Baik BAPPENAS disebut
dengan “More Administrative Good Governance”. Penjelasan secara lebih rinci
atas keempat prinsip tersebut selengkapnya dapat dijelaskan pada uraian
berikut.
Transparansi. Transparansi merujuk pada ketersediaan informasi dan
kejelasan bagi masyarakat umum untuk mengetahui proses penyusunan, pelaksanaan,
serta hasil yang telah dicapai melalui sebuah kebijakan publik. Semua urusan
tata kepemerintahan berupa kebijakan-kebijakan publik, baik yang berkenaan
dengan pelayanan publik maupun pembangunan di daerah harus diketahui publik. Isi keputusan dan alasan pengambilan
kebijakan publik harus dapat diakses oleh publik. Demikian pula informasi
tentang kegiatan pelaksanaan kebijakan tersebut beserta hasil-hasilnya harus
terbuka dan dapat diakses publik. Dalam hal
ini, aparatur pemerintahan harus bersedia secara terbuka dan jujur memberikan
informasi yang dibutuhkan publik. Upaya pembentukan masyarakat transparansi,
forum komunikasi langsung dengan eksekutif dan legislatif, wadah komunikasi dan
informasi lintas pelaku baik melalui media cetak maupun elektronik, merupakan
contoh wujud nyata prinsip keterbukaan dan transparansi. Tidak adanya
keterbukaan dan transparansi dalam urusan pemerintahan akan menyebabkan
kesalahpahaman terhadap berbagai kebijakan publik yang dibuat.
Partisipasi.
Partisipasi masyarakat merujuk pada keterlibatan aktif
masyarakat dalam pengambilan keputusan yang berhubungan dengan penyelenggaraan
pemerintahan. Partisipasi masyarakat mutlak diperlukan agar penyelenggara
pemerintahan dapat lebih mengenal warganya berikut cara pikir dan kebiasaan
hidupnya, masalah yang dihadapinya, cara atau jalan keluar yang disarankannya,
apa yang dapat disumbangkan dalam memecahkan masalah yang dihadapi, dan
sebagainya. Dengan demikian kepentingan masyarakat dapat tersalurkan di dalam
penyusunan kebijakan sehingga dapat mengakomodasi sebanyak mungkin aspirasi dan
kepentingan masyarakat, serta mendapat dukungan masyarakat luas. Kehadiran dan keikutsertaan warga
masyarakat dalam forum pertemuan publik, serta keaktifan mereka dalam
menyumbangkan pikiran dan saran menunjukkan bahwa urusan pemerintahan juga
menjadi urusan mereka dan bukan semata urusan birokrat. Meskipun demikian,
harus diakui bahwa tidaklah mudah mengikutsertakan semua lapisan masyarakat
dalam suatu forum sekaligus. Salah satu alternatif pemecahannya adalah memberi
akses kepada seluruh masyarakat serta wakil dari berbagai lapisan masyarakat
untuk berpartisipasi menyuarakan kepentingan kelompok yang diwakilinya dan
mengajukan usul serta pikiran dalam forum-forum pertemuan publik, misalnya pada
musyawarah pembangunan tingkat desa atau konsultasi regional pembangunan.
Kurangnya partisipasi dalam penyelenggaraan pemerintahan akan menyebabkan kebijakan publik yang diputuskan
tidak mampu mengakomodasi berbagai aspirasi dan kepentingan masyarakat, yang
dapat mengakibatkan kegagalan dalam pencapaian tujuan kebijakan tersebut.
Akuntabilitas. Akuntabilitas
publik adalah suatu ukuran atau standar yang menunjukkan seberapa besar tingkat
kesesuaian penyelenggaraan penyusunan kebijakan publik dengan peraturan hukum
dan perundang-undangan yang berlaku untuk organisasi publik yang bersangkutan.
Pada dasarnya, setiap pengambilan kebijakan publik akan memiliki dampak
tertentu pada sekelompok orang atau seluruh masyarakat, baik dampak yang
menguntungkan atau merugikan, maupun langsung atau tidak langsung. Oleh karena
itu, penyusun kebijakan publik harus dapat mempertanggungjawabkan setiap
kebijakan yang diambilnya kepada publik.
Penerapan prinsip akuntabilitas atau tanggung jawab/tanggung gugat dalam
penyelenggaraan pemerintahan diawali pada saat penyusunan program pelayanan
publik dan pembangunan (program accountability), pembiayaannya (fiscal accountability), serta pelaksanaan, pemantauan, dan penilaiannya (process
accountability) sehingga program tersebut dapat
memberikan hasil atau dampak optimal sesuai dengan sasaran atau tujuan yang
ditetapkan (outcome accountability). Para
penyelenggara pemerintahan menerapkan prinsip akuntabilitas dalam hubungannya
dengan masyarakat/publik (outwards accountability), dengan aparat bawahan yang ada di dalam instansi
pemerintahan itu sendiri (downwards accountability), dan kepada atasan mereka (upwards accountability).
Berdasarkan substansinya, prinsip akuntabilitas mencakup akuntabilitas
administratif seperti penggunaan sistem dan prosedur tertentu (administrative
accountability), akuntabilitas hukum (legal
accountability), akuntabilitas politik antara
eksekutif kepada legislatif (political accountability), akuntabilitas profesional seperti penggunaan metode dan
teknik tertentu (professional accountability), dan akuntabilitas moral (ethical
accountability). Apabila semua yang disebut terdahulu
dapat terpenuhi, kepercayaan rakyat kepada aparat dan keandalan lembaga
pemerintahan yang ada akan tumbuh. Penyelenggaraan pemerintahan yang tidak
menerapkan akuntabilitas akan menimbulkan penyalahgunaan wewenang. Dengan
penerapan prinsip akuntabilitas tersebut, diharapkan pertanggungjawaban
penyelenggaraan pemerintah/institusi/unit kerja tidak lagi sekedar laporan
kesan-kesan dan pesan-pesan, tetapi menjadi laporan pertanggungjawaban kinerja
selama yang bersangkutan menjabat. Hal ini sejalan dengan kebijakan Anggaran
Berbasis Kinerja.
Prinsip supremasi hukum sangat relevan untuk menjadi prioritas analisis mengingat
dalam pemberian pelayanan publik dan pelaksanaan pembangunan seringkali terjadi
pelanggaran hukum, seperti yang paling populer saat ini yaitu terjadinya
penyalahgunaan kekuasaan dalam bentuk Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN),
serta pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Dalam hal ini, siapa saja yang
melanggarnya harus diproses dan ditindak secara hukum atau sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Wujud nyata prinsip ini
mencakup upaya pemberdayaan lembaga-lembaga penegak hukum, penuntasan kasus KKN
dan pelanggaran HAM, peningkatan kesadaran HAM, peningkatan kesadaran hukum,
serta pengembangan budaya hukum. Tidak diterapkannya prinsip supremasi hukum akan menimbulkan
ketidakpastian dalam penyelenggaraan pemerintahan.
AGENDA PEMERINTAHAN SBY-BOEDIONO
|
Pada tataran implementasi di lapangan, variable-variabel
good governance tersebut diatas tidaklah mudah untuk dicapai. Berbagai upaya
kebijakan pemerintah telah dilakukan untuk mewujudkan peningkatan kesejahteraan
rakyat dan kepuasan publik. Namun
demikian hasilnya belum memuaskan semua pihak oleh karena pada tataran
internasional baik tingkat dunia maupun tingkat Asia, angka indeks korupsi
Indonesia masih cukup parah dibandingakan dengan berbagai Negara, termasuk Vietnam sekalipun. Padahal Vietnam bisa
dikategorikan sebagai lebih tertinggal daripada Indonesia, tetapi saat ini
justru memiliki kecenderungan tata pemerintahan yang lebih baik.
Banyak agenda-agenda yang harus dilakukan oleh pemerintahan SBY-Boediono
dalam konteks mewujudkan good governance.
Agenda-agenda tersebut antara lain:
1. Agenda pemberantasan korupsi, merupakan salah satu tantangan yang
paling berat bagi pemerintahan SBY-Boediono beserta kabinetnya. Pemanasan
politik melalui Bank Century dan berbagai macam jenis penyuapan sebagaimana
yang disinyalir melalui fenomena Markus
“makelar kasus” merupakan pekerjaan rumah yang tidak ringan bagi pemerintahan SBY-Boediono
lima tahun mendatang. Belum lagi berbagai korupsi yang berpotensi terjadi dari
level pemerintahan pusat hingga pemerintahan daerah dan desa juga merupakan
problem bangsa yang tidak kalah beratnya.
Kolusi antara pejabat dan pengusaha dengan berbagai modus operandinya,
juga tema lain korupsi yang harus diberantas oleh pemerintahan baru
SBY-Boediono ini.
2. Agenda pemberantasan kemiskinan, merupakan salah satu tugas pokok
yang harus dijalankan dalam rangka perwujudan good governance di era
pemerintahan SBY-Boediono ini.
Penyediaan fasilitas umum dan peningkatan kesejahteraan rakyat yang
berarti tidak adanya kemiskinan merupakan ultimate goal dari tata kelola pemerintahan yang baik. Penyelenggaraan pemerintahan secara
transparan, akuntabel dan berkeadilan adalah berdimensi untuk memberantas
kemiskinan dan meningkatkan kepuasan dan kesejahteraan rakyat. Pemerintahan yang efektif tentu harus
menempatkan pemberantasan kemiskinan sebagai upaya utama dalam policy
mainstream dan konsentrasi kebijakan publiknya.
3. Agenda reformasi birokrasi ditujukan untuk meningkatkan
efektivitas dan efisiensi pemerintahan dari tingkat pusat hingga tingkat
daerah sehingga berbagai
pencapaian-pencapaian pembangunan nasional dan daerah dapat diraih oleh
pemerintahan SBY-Boediono ini. Reformasi
birokrasi tentu harus dilakukan bukan saja dalam kerangka struktur tetapi juga kerangka fungsi yang lebih efektif dan efisien. Konsepsi
miskin struktur kaya fungsi seharusnya bukan hanya sekedar jargon semata,
tetapi harus ada upaya-upaya implementatif dalam tataran kebijakan, program dan
kegiatan pemerintahan di semua tingkatan. Reformasi birokrasi juga membutuhkan
paradigma pelayanan birokrasi yang dari bersifat governing menjadi serving.
4. Agenda peningkatan pelayanan
publik merupakan salah satu tindaklanjut dari reformasi birokrasi. Pelayanan publik harus menjadi fokus utama
dari keberadaan suatu pemerintahan (Denhardt & Denhardt, 2000: 50-52). Good
governance juga pada hasil akhirnya dimaksudkan
untuk meningkatkan pelayanan publik menuju tercapainya kesejahteraan publik.
Program-program reformasi pelayanan
publik harus diteruskan dalam pemerintahan ini agar efektivitas dan
efisiensinya tercapai. Program-program tersebut antara lain, seperti, OSS (One
Stop Services),
mekanisme pengaduan, standard kompetensi jabatan, pelayanan pertanahan, dan sebagainya.
5. Agenda pelayanan hukum yang fair, adil dan setara merupakan salah satu agenda besar
pemerintahan SBY-Boediono yang harus diprioritaskan. Contoh kasus hukum yang menimpa masyarakat tidak mampu,
seperti yang menimpa Mbah Mina di Kabupaten Banyumas dengan “pencurian” 3 (tiga)
buah kakao mendapatkan ganjaran tahanan 3 (tiga) bulan percobaan, Basar Suyanto
dan Kholil, dua orang petani di Kabupaten Kediri dengan tuduhan mencuri 1 (satu)
buah semangka divonis penjara selama 2 (dua)
bulan. Jika dibandingkan dengan korupsi yang dilakukan oleh para elite negeri
ini membuktikan bahwa hukum belum benar-benar melindungi masyarakat lemah
karena tidak adil perlakuannya. Kasus Prita Mulyasari juga memberikan buklti bahwa hukum tidak
hanya harus mengabdi pada asas kepastian hukum (rechtmatigheid) semata tetapi juga harus mengabdi pada 2 (dua) asas hukum
yang lain yaitu asas keadilan dan kemanfaatan (doelmatigheid). Sementara itu
kepedulian sosial (Gerakan Kepedulian “Coin untuk Prita” dari tukang becak,
pengamen hingga pejabat publik) yang tinggi yang muncul dari kasus hukum Prita Mulyasari
sesungguhnya merupakan suatu sindiran hukum terhadap proses peradilan di
Indonesia yang tidak fair. Akibat lebih jauh, seharusnya reformasi hukum juga
harus menyentuh aspek-aspek nurani sosial.
6. Agenda peningkatan partisipasi efektif dalam sosial, politik dan
ekonomi. Artinya pemerintah harus memberikan terobosan dan peluang yang lebih
inovatif, yang lebih memungkinkan partisipasi masyarakat dan sektor privat agar
lebih berkembang secara efektif dan efisien. Konsultasi publik, dialog publik,
forum pertemuan dengan berbagai stakeholders harus ditingkatkan sehingga mampu
mendorong komitmen bersama untuk pembangunan sosial, ekonomi dan politik. Forum
Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) seharusnya ditata kembali
sehingga bukan hanya menjadi pertemuan formal perencanaan tetapi harus
benar-benar merupakan forum yang mewakili semua elemen masyarakat.
7. Agenda peningkatan kualitas demokrasi dan lembaga-lembaga
politik.
Partai politik dan lembaga-lembaga produk proses politik dan
pemilu seperti halnya DPD, DPR, DPRD kabupaten-kota harus didorong dan didukung
kapasitasnya sehinga benar-benar menjadi lembaga perwakilan rakyat yang memang
harus menyalurkan aspirasi rakyat. Kepedulian dan kapasitas politik anggota
perwakilan secara terus menerus harus di back up dan di berdayakan melalui berbagai metode.
8. Agenda peningkatan efektivitas otonomi daerah. Dimaksudkan untuk
meningkatkan kapasitas pemerintah daerah didalam penyelengaraan otonomi daerah.
Prinsip-prinsip good governance harus menjadi dasar aktivitas penyelengaraan fungsi
pemerintahan daerah. Pada tahap pertama, 4 (empat) variavel pokok good
governance harus diimplementasikan dalam tata kelola pemerintahan daerah yang
meliputi variabel kepastian hukum, partisipasi, transparansi dan
akuntanbilitas. Pengembangan electronic government merupakan salah satu cara yang bisa ditempuh untuk
meningkatkan efektivitas pelaksanaan ke 4 (empat) varabel pokok ini.
9. Agenda pemberdayaan perempuan dan kelompok terpinggirkan menjadi
pusat perhatian penting yang harus diprioritaskan oleh pemerintahan
SBY-Boediono dalam pemerintahan 5 (lima) tahun ini. Program-program
pemberdayaan perempuan ini diantaranya adalah: peningkatan keterwakilan
perempuan di lembaga-lembaga perwakilan, peningkatan pendidikan, dan perlunya affirmative
actions yang memang betul-betul dibutuhkan oleh kaum perempuan.
PENUTUP
|
Tantangan mewujudkan good governance di era pemerintahan SBY-Boediono tidaklah ringan. Berbagai
kebijakan dan alternatif pemecahan masalah harus dilakukan dari tingkat yang paling
dasar. Persoalan-persoalan seperti kasus Bank Century, Bibit Candra, Prita
Mulyasari, Mbah Minah dan lain-lain merupakan kasus-kasus diawal pemerintahan
SBY-Boediono yang sangat berpengaruh terhadap kinerja dan kepercayaan publik di
pemerintahan ini.
Dibutuhkan strategi politik dan kebijakan yang tepat untuk
mengatasi berbagai permasalahan yang menyangkut 9 (sembilan) agenda pokok
sebagaimana tersebut di atas yang mestinya diletakkan sebagai prioritas dalam
pemerintahan SBY-Boediono 2009-2014 ini.
Daftar Pustaka
Corbett,
D., Reforming the Public
Sector, Allen & Unwin, NSW, 2000
Denhardt,
RB & Denhardt, JV, “The New Public
Service”, Public Administration Review
(PAR), Vol. 60 No. 6,
2000
Keating,
M, “The Public Service: Independence,
Responsibility and Responsiveness, Australian
Journal of Public Administration,Vol 58 No. 1, Tokyo, Tokyo
University Press,1999, hal 39-47
Oyugi,
W.O, Good Governance and Local Government,
Tokyo, Tokyo University Press, 2000
Bappenas,
Modul Penerapan Tata Kepemerintahan Yang
Baik (Good Public Governance) di Indonesia. Jakarta, 2008