BAB 12Perlindungan Konsumen
A.
PENGERTIAN
Perlindungan konsumen adalah perangkat hukum
yang diciptakan untuk melindungi dan terpenuhinya hak konsumen. Sebagai contoh,
para penjual diwajibkan menunjukkan tanda harga sebagai tanda pemberitahuan
kepada konsumen.
B.
ASAS DAN TUJUAN
a) ASAS,
Perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan lima
asas,yaitu :
1.
Asas manfaat Adalah segala upaya dalam
menyelenggarakan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat
sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.
2.
Asas keadilan Adalah memberikan kesempatan
kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan
kewajibannya secara adil.
3.
Asas keseimbangan Adalah memberikan
keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam
arti materiil maupun spiritual.
4.
Asas keamanan dan keselamatan konsumen Adalah
untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselematan pada konsumen dalam
penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan atau jasa yang dikonsumsi
atau digunakan.
5.
Asas kepastian hukum Adalah baik pelaku maupun
konsumen mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan
perlindungan konsumen serta negara menjamin kepastian hukum.
b) TUJUAN
Menurut Pasal 3 tentang Perlindungan
konsumen, bertujuan:
1.
Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan
kemandirian konsumen untuk melindungi diri;
2.
Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan
cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;
3.
Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam
memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;
4.
Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang
mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk
mendapatkan informasi;
5.
Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai
pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan
bertanggung jawab dalam berusaha;
6.
Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa
yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan,
kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.
UU Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen Republik Indonesia menjelaskan bahwa hak konsumen
diantaranya adalah hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam
mengkonsumsi barang dan atau jasa; hak untuk memilih barang dan atau jasa serta
mendapatkan barang dan atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi
serta jaminan yang dijanjikan; hak untuk diperlakukan atau dilayani secara
benar dan jujur serta tidak diskriminatif; hak untuk mendapatkan kompensasi,
ganti rugi dan atau penggantian, apabila barang dan atau jasa yang diterima
tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; dan sebagainya.
C.
HAK DAN KEWAJIBAN KONSUMEN
Berdasarkan pasal 4 dan 5 undang-undang nomor 8 tahun 1999,hakdan
kewajiban konsumen antara lain sebagai berikut.
1.
hak konsumen
·
Hak atas kenyamanan,keamanaan,dan keselamatan
dalam mengkonsumsi barang dan atau jasa.
·
Hak untuk memilih barang atau jasa serta
mendapatkan barang atau jasa.
·
Hak atas informasi yang benar,jelas dan jujur
mengenai barang dan jasa
·
Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas
barang dan jasa yang digunakan
·
Hak untuk mendapatkan advokasi perlindungan
konsumen dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan secara patut
·
Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan
konsumen
·
Hak untuk diperlakukan secara benar dan jujur.
·
Hak untuk mendapatkan konpensasi,gantirugi
atau penggantin apabila barang atau jasa yang diterima tidak sesuai.
·
Hak-hak yang diatur dalam peratuiran
perundang-undangan lainnya.
2.
kewajiban konsumen
a.
Membaca,mengikuti petunjuk informasi dan
prosedur pemakaian
b.
Beritikad baik dalam melakukan transaksi
pembelian barang atau jasa.
c.
Membayar sesuai dengan nilai tukar yang
disepakati
d. Mengikuti
upaya penyesuaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut
D.
HAK DAN KEWAJIBAN PELAKU USAHA
Seperti halnya konsumen, pelaku usaha juga
memiliki hak dan kewajiban. Hak pelaku usaha sebagaimana diatur dalam Pasal 6
UUPK adalah:
ü
Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai
dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai
tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
ü
Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari
tindakan konsumen yang beritikad tidak baik;
ü
hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya
di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;
ü
Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila
terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang
dan/atau jasa yang diperdagangkan;
ü Hak-hak
yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Bila diperhatikan dengan seksama, tampak bahwa
hak dan kewajiban pelaku usaha bertimbal balik dengan hak dan kewajiban
konsumen. Ini berarti hak bagi konsumen adalah kewajiban yang harus dipenuhi
oleh pelaku usaha. Demikian pula dengan kewajiban konsumen merupakan hak yang
akan diterima pelaku usaha.
Bila dibandingkan dengan ketentuan umum di
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, tampak bahwa pengaturan UUPK lebih spesifik.
Karena di UUPK pelaku usaha selain harus melakukan kegiatan usaha dengan itikad
baik, ia juga harus mampu menciptakan iklim usaha yang kondusif, tanpa
persaingan yang curang antar pelaku usaha.
Kewajiban-kewajiban pelaku usaha juga sangat
erat kaitannya dengan larangan dan tanggung jawab pelaku usaha yang akan kita
bahas nanti.
E.
PERBUATAN YANG DI LARANG BAGI PELAKU USAHA
Adapun perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha yaitu :
1.
Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang
dan/atau jasa yang
a.
Tidak sesuai dengan :
·
Standar yang dipersyaratkan;
·
Peraturan yang berlaku;
·
Ukuran, takaran, timbangan dan jumlah yang sebenarnya.
b.
Tidak sesuai dengan pernyataan dalam label,
etiket dan keterangan lain mengenai barang dan/atau jasa yang menyangkut :
·
berat bersih;
·
isi bersih dan jumlah dalam hitungan;
·
kondisi, jaminan, keistimewaan atau
kemanjuran;
·
mutu, tingkatan, komposisi;
·
proses pengolahan;
·
gaya, mode atau penggunaan tertentu;
·
janji yang diberikan
c.
Tidak mencantumkan :
·
tanggal kadaluarsa/jangka waktu penggunaan/
pemanfaatan paling baik atas barang tertentu;
·
informasi dan petunjuk penggunaan dalam bahasa
indonesia sesuai dengan ketentuan yang berlaku
d.
Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara
halal sebagaimana pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label
e.
Tidak memasang label/membuat penjelasan yang
memuat:
·
Nama barang;
·
Ukuran, berat/isi bersih, komposisi;
·
Tanggal pembuatan;
·
Aturan pakai;
·
Akibat sampingan;
·
Nama dan alamat pelaku usaha;
·
Keterangan penggunaan lain yang menurut
ketentuan harus dipasang atau dibuat
f.
Rusak, cacat atau bekas dan tercemar (terutama
sediaan Farmasi dan Pangan), tanpa memberikan informasi secara lengkap dan
benar.
2.
Dilarang menawarkan, mempromosikan,
mengiklankan barang dan/atau jasa :
a.
Secara tidak benar dan/atau seolah-olah barang
tersebut :
·
Telah memenuhi standar mutu tertentu, potongan
harga/harga khusus, gaya/mode tertentu, sejarah atau guna tertentu.
·
Dalam keadaan baik/baru, tidak mengandung
cacat, berasal dari daerah tertentu, merupakan kelengkapan dari barang
tertentu.
b.
Secara tidak benar dan seolah-olah barang
dan/atau jasa tersebut :
·
Telah mendapatkan/memiliki sponsor,
persetujuan, perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu, ciri-ciri kerja atau
aksesoris tertentu.
·
Dibuat perusahaan yangmempunyai sponsor,
persetujuan/afiliasi.
·
Telah tersedia bagi konsumen.
c.
Langsung/tidak langsung merendahkan barang
dan/atau jasa lain.
d.
Menggunakan kata-kata berlebihan, secara aman,
tidak berbahaya, tidak mengandung resiko/efek samping tanpa keterangan lengkap.
e.
Menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang
belum pasti.
f.
Dengan harga/tarif khusus dalam waktu dan
jumlah tertentu, jika bermaksud tidak dilaksanakan.
g.
Dengan menjanjikan hadiah cuma-cuma, dengan
maksud tidak memberikannya atau memberikan tetapi tidak sesuai dengan janji.
h.
Dengan menjanjikan hadiah barang dan/atau jasa
lain, untuk obat-obat tradisional, suplemen makanan, alat kesehatan dan jasa
pelayanan kesehatan.
3.
Dalam menawarkan barang dan/atau jasa untuk
diperdagangkan dilarang mempromosikan,mengiklankan atau membuat pernyataan
tidak benar atau menyesatkan mengenai:
a.
Harga/tarifdan potongan harga atau hadiah
menarik yang ditawarkan.
b.
Kondisi, tanggungan, jaminan, hak/ganti rugi
atas barang dan/atau jasa.
c.
Kegunaan dan bahaya penggunaan barang
dan/aatau jasa.
4.
Dalam menawarkan barang dan/atau jasa untuk
diperdagangkan dengan memberikan hadiah dengan cara undian dilarang :
a.
Tidak melakukan penarikan hadiah setelah batas
waktu dijanjikan.
b.
Mengumumkan hasilnya tidak melalui media
massa.
c.
Memberikan hadiah tidak sesuai janji dan/atau
menggantikannya dengan hadiah yang tidak setara dengan nilai hadiah yang
dijanjikan.
5.
Dalam menawarkan barang dan/atau jasa,
dilarang melakukan cara pemaksaan atau cara lain yang dapat menimbulkan
gangguan kepada konsumen baik secara fisik maupun psikis.
6.
Dalam hal penjualan melalui obral atau lelang,
dilarang menyesatkan dan mengelabui konsumen dengan :
a.
Menyatakan barang dan/atau jasa tersebut
seolah-olah memenuhi standar mutu tertentu dan tidak mengandung cacat
tersembunyi.
b.
Tidak berniat menjual barang yang
ditawarkan,melainkan untuk menjual barang lain.
c.
Tidak menyediaakan barang dan/atau jasa dalam
jumlah tertentu/cukup dengan maksud menjual barang lain.
d. Menaikkan
harga sebelum melakukan obral.
F.
KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN
Klausula baku adalah setiap syarat dan
ketentuan yang telah disiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak
oleh pengusaha yang dituangkan dalam suatu dokumen atau perjanjian yang
mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen. Memang klausula baku potensial
merugikan konsumen karena tak memiliki pilihan selain menerimanya. Namun di
sisi lain, harus diakui pula klausula baku sangat membantu kelancaran
perdagangan. Sulit membayangkan jika dalam banyak perjanjian atau kontrak
sehari-hari kita selalu harus mernegosiasikan syarat dan ketentuannya. Di dalam
Pasal 18 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999, pelaku usaha dalam menawarkan barang
dan atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau
mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan atau perjanjian, antara lain
:
1.
Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku
usaha ;
2.
Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak
penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen ;
3.
Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak
penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan atau jasa yang dibeli
konsumen ;
4.
Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen
kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan
segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli konsumen
secara angsurang ;
5.
Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya
kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen ;
6.
Memberi hak kepada pelaku usaha untuk
mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi
objek jual beli jasa ;
7.
Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan
yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan atau pengubahan lanjutan yang
dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang
dibelinya ;
8. Menyatakan
bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak
tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh
konsumen secara angsuran.
Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula
baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara
terlihat atau tidak dapat dibaca seacra jelas atau yang pengungkapannya sulit
dimengerti sebagai konsekuensinya setiap klausula baku yang telah ditetapkan
oleh pelaku usaha dalam dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan
sebagaimana di atas telah dinaytakan batal demi hukum. Oleh karena itu , pelaku
usaha diwajibkan untuk menyesuaikan klausula baku yang dibuatnya yang
bertentangan dengan undang-undang.
G.
TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA
Hukum tentang tanggung jawab produk ini
termasuk dalam perbuatan melanggar hukum tetapi diimbuhi dengan tanggung jawab
mutlak (strict liability), tanpa melihat apakah ada unsur kesalahan pada pihak
pelaku. Dalam kondisi demikian terlihat bahwa adagium caveat emptor (konsumen
bertanggung jawab telah ditinggalkan) dan kini berlaku caveat venditor (pelaku
usaha bertanggung jawab).
Istilah Product Liability (Tanggung Jawab
Produk) baru dikenal sekitar 60 tahun yang lalu dalam dunia perasuransian di
Amerika Serikat, sehubungan dengan dimulainya produksi bahan makanan secara
besar-besaran. Baik kalangan produsen (Producer and manufacture) maupun penjual
(seller, distributor) mengasuransikan barang-barangnya terhadap kemungkinan
adanya resiko akibat produk-produk yang cacat atau menimbulkan kerugian tehadap
konsumen.
Tanggung jawab produk (product liability),
menurut Hursh bahwa product liability is the liability of manufacturer,
processor or non-manufacturing seller for injury to the person or property of a
buyer third party, caused by product which has been sold. Perkins Coie juga
menyatakan Product Liability: The liability of the manufacturer or others in
the chain of distribution of a product to a person injured by the use of
product.
Dengan demikian, yang dimaksud dengan product
liability adalah suatu tanggung jawab secara hukum dari orang atau badan yang
menghasilkan suatu produk (producer, manufacture) atau dari orang atau badan
yang bergerak dalam suatu proses untuk menghasilkan suatu produk (processor,
assembler) atau orang atau badan yang menjual atau mendistribusikan produk
tersebut.
Dengan diterapkannya prinsip tanggung jawab
mutlak ini, maka setiap konsumen yang merasa dirugikan akibat produk atau
barang yang cacat atau tidak aman dapat menuntut kompensasi tanpa harus
mempermasalahkan ada atau tidak adanya unsur kesalahan di pihak produsen.
H.
SANKSI
1.
Sanksi-sanksi Pelaku Usaha
Sanksi Bagi Pelaku Usaha Menurut
Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu :
a.
Sanksi Perdata
Ganti rugi dalam bentuk :
·
Pengembalian uang atau
·
Penggantian barang atau
·
Perawatan kesehatan, dan/atau
·
Pemberian santunan
Ganti rugi diberikan dalam tenggang waktu 7
hari setelah tanggal transaksi
Sanksi Administrasi :maksimal Rp. 200.000.000
(dua ratus juta rupiah), melalui BPSK jika melanggar Pasal 19 ayat (2) dan (3),
20, 25
b. Sanksi
Pidana :
Kurungan :
·
Penjara, 5 tahun, atau denda Rp. 2.000.000.000
(dua milyar rupiah) (Pasal 8, 9, 10, 13 ayat (2), 15, 17 ayat (1) huruf a, b,
c, dan e dan Pasal 18
·
Penjara, 2 tahun, atau denda Rp.500.000.000
(lima ratus juta rupiah) (Pasal 11, 12, 13 ayat (1), 14, 16 dan 17 ayat (1)
huruf d dan f
Ketentuan
pidana lain (di luar Undang-undang No. 8 Tahun. 1999 tentang Perlindungan
Konsumen) jika konsumen luka berat, sakit berat, cacat tetap atau kematian,*
Hukuman tambahan , antara lain:
·
Pengumuman keputusan Hakim
·
Pencabuttan izin usaha;
·
Dilarang memperdagangkan barang dan jasa ;
·
Wajib menarik dari peredaran barang dan jasa;
BAB 13Anti Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
A.
Pengertian
Pasar Monopoli adalah suatu
bentuk pasar di mana hanya terdapat satu penjual yang menguasai pasar. Penentu
harga pada pasar ini adalah seorang penjual atau sering disebut sebagai
"monopolis". Sebagai penentu harga (price-maker), seorang monopolis
dapat menaikan atau mengurangi harga dengan cara menentukan jumlah barang yang
akan diproduksi; semakin sedikit barang yang diproduksi, semakin mahal harga
barang tersebut, begitu pula sebaliknya. Walaupun demikian, penjual juga
memiliki suatu keterbatasan dalam penetapan harga. Apabila penetapan harga
terlalu mahal, maka orang akan menunda pembelian atau berusaha mencari atau
membuat barang subtitusi (pengganti) produk tersebut.
B.
ASAS DAN
TUJUAN
1.
ASAS
Pelaku usaha di Indonesia dalam menjalankan
kegiatan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan
keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum.
2.
TUJUAN
Undang-Undang (UU) persaingan usaha adalah
Undang-undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat (UU No.5/1999) yang bertujuan untuk memelihara pasar
kompetitif dari pengaruh kesepakatan dan konspirasi yang cenderung mengurangi
dan atau menghilangkan persaingan. Kepedulian utama dari UU persaingan usaha
adalah promoting competition dan memperkuat kedaulatan konsumen.
C.
Kegiatan
yang Dilarang
Dalam UU
No.5/1999,kegiatan yang dilarang diatur dalam pasal 17 sampai dengan pasal 24.
Undang undang ini tidak memberikan defenisi kegiatan,seperti halnya perjanjian.
Namun demikian, dari kata “kegiatan” kita dapat menyimpulkan bahwa yang
dimaksud dengan kegiatan disini adalah aktivitas,tindakan secara sepihak. Bila
dalam perjanjian yang dilarang merupakan perbuatan hukum dua pihak maka dalam
kegiatan yang dilarang adalah merupakan perbuatan hukum sepihak.
Adapun kegiatan kegiatan yang dilarang tersebut yaitu :
1.
Monopoli
Adalah penguasaan atas produksi dan atau
pemasaran barang dan atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha
atau satu kelompok pelaku usaha
2.
Monopsoni
Adalah situasi pasar dimana hanya ada satu
pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha yang menguasai pangsa pasar yang besar
yang bertindak sebagai pembeli tunggal,sementara pelaku usaha atau kelompok
pelaku usaha yang bertindak sebagai penjual jumlahnya banyak.
3.
Penguasaan pasar
Di dalam UU no.5/1999 Pasal 19,bahwa kegiatan
yang dilarang dilakukan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya
penguasaan pasar yang merupakan praktik monopoli atau persaingan usaha tidak sehat
yaitu :
a.
menolak dan atau menghalangi pelaku usaha
tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar yang bersangkutan;
b.
menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku
usaha pesaingnya untuk tidak melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha pesaingnya;
c.
membatasi peredaran dan atau penjualan barang
dan atau jasa pada pasar bersangkutan;
d. melakukan
praktik diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu.
4.
Persekongkolan
Adalah bentuk kerjasama yang dilakukan oleh
pelaku usaha dengan pelaku usaha lain dengan maksud untuk menguasai pasar
bersangkutan bagi kepentingan pelaku usaha yang bersekongkol (pasal 1 angka 8
UU No.5/1999).
5.
Posisi Dominan
Artinya pengaruhnya sangat kuat, dalam Pasal 1
angka 4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 menyebutkan posisi dominan merupakan
suatu keadaan dimana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti di pasar
bersangkutan dalam kaitan dengan pangsa yang dikuasai atau pelaku usaha
mempunyai posisi tertinggi diantara pesaingnya di pasar bersangkutan dalam
kaitan dengan kemampuan keuangan, kemampuan akses pada pasokan, penjualan,
serta kemampuan untuk menyesuaikan pasokan dan permintaan barang atau jasa
tertentu.
6.
Jabatan Rangkap
Dalam Pasal 26 Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999 dikatakan bahwa seorang yang menduduki jabatan sebagai direksi atau
komisaris dari suatu perusahaan, pada waktu yang bersamaan dilarang merangkap
menjadi direksi atau komisaris pada perusahaan lain.
7.
Pemilikan Saham
Berdasarkan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999 dikatakan bahwa pelaku usaha dilarang memiliki saham mayoritas pada
beberapa perusahaan sejenis, melakukan kegiatan usaha dalam bidang sama pada
saat bersangkutan yang sama atau mendirikan beberapa perusahaan yang sama.
8.
Penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan
Dalam Pasal 28 Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999, mengatakan bahwa pelaku usaha yang berbadan hukum maupun yang bukan
berbadan hukum yang menjalankan perusahaan bersifat tetap dan terus menerus
dengan tujuan mencari keuntungan.
D.
Perjanjian
yang Dilarang
a.
Oligopoli
Adalah keadaan pasar dengan produsen dan
pembeli barang hanya berjumlah sedikit, sehingga mereka atau seorang dari
mereka dapat mempengaruhi harga pasar.
b.
Penetapan
harga
Dalam rangka penetralisasi pasar, pelaku usaha dilarang membuat
perjanjian, antara lain :
a.
Perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya
untuk menetapkan harga atas barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh
konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama ;
b.
Perjanjian yang mengakibatkan pembeli yang
harus membayar dengan harga yang berbeda dari harga yang harus dibayar oleh
pembeli lain untuk barang dan atau jasa yang sama ;
c.
Perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya
untuk menetapkan harga di bawah harga pasar ;
d.
Perjanjian dengan pelaku usaha lain yang
memuat persyaratan bahwa penerima barang dan atau jasa tidak menjual atau
memasok kembali barang dan atau jasa yang diterimanya dengan harga lebih rendah
daripada harga yang telah dijanjikan.
c.
Pembagian
wilayah
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian
dengan pelaku usaha pesaingnya yang bertujuan untuk membagi wilayah pemasaran
atau alokasi pasar terhadap barang dan atau jasa.
d.
Pemboikotan
Pelaku usaha dilarang untuk membuat perjanjian
dengan pelaku usaha pesaingnya yang dapat menghalangi pelaku usaha lain untuk
melakukan usaha yang sama, baik untuk tujuan pasar dalam negeri maupun pasar
luar negeri.
e.
Kartel
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian
dengan pelaku usaha pesaingnya yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan
mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa.
f.
Trust
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian
dengan pelaku usaha lain untuk melakukan kerja sama dengan membentuk gabungan
perusahaan atau perseroan yang lebih besar, dengan tetap menjaga dan
mempertahankan kelangsungan hidup tiap-tiap perusahaan atau perseroan anggotanya,
yang bertujuan untuk mengontrol produksi dan atau pemasaran atas barang dan
atau jasa.
g.
Oligopsoni
Keadaan dimana dua atau lebih pelaku usaha
menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal atas barang dan/atau
jasa dalam suatu pasar komoditas.
h.
Integrasi vertikal
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain
yang bertujuan untuk menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk dalam
rangkaian produksi barang dan atau jasa tertentu yang mana setiap rangkaian
produksi merupakan hasil pengelolaan atau proses lanjutan baik dalam satu
rangkaian langsung maupun tidak langsung.
Perjanjian tertutup
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian
dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima
barang dan atau jasa hanya akan memasok atau tidak memasok kembali barang dan
atau jasa tersebut kepada pihak tertentu dan atau pada tempat tertentu.
i.
Perjanjian
dengan pihak luar negeri
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak luar negeri
yang memuat ketentuan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan
atau persaingan usaha tidak sehat.
E.
Hal-hal
yang Dikecualikan dalam UU Anti Monopoli
Hal-hal
yang dilarang oleh Undang-Undang Anti Monopoli adalah sebagai berikut :
1.
Perjanjian-perjanjian tertentu yang berdampak
tidak baik untuk persaingan pasar, yang terdiri dari:
a.
Oligopoli
b.
Penetapan harga
c.
Pembagian wilayah
d.
Pemboikotan
e.
Kartel
f.
Trust
g.
Oligopsoni
h.
Integrasi vertikal
i.
Perjanjian tertutup
j.
Perjanjian dengan pihak luar negeri
2.
Kegiatan-kegiatan tertentu yang berdampak
tidak baik untuk persaingan pasar, yang meliputi kegiatan-kegiatan sebagai
berikut :
a.
Monopoli
b.
Monopsoni
c.
Penguasaan pasar
d. Persekongkolan
3.
Posisi dominan, yang meliputi :
a.
Pencegahan konsumen untuk memperoleh barang
atau jasa yang bersaing
b.
Pembatasan pasar dan pengembangan teknologi
c.
Menghambat pesaing untuk bisa masuk pasar
d.
Jabatan rangkap
e.
Pemilikan saham
f.
Merger, akuisisi, konsolidasi
F.
Komisi Pengawasan Persaingan Usaha
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) adalah
sebuah lembaga independen di Indonesia yang dibentuk untuk memenuhi amanat
Undang-Undang no. 5 tahun 1999 tentang larangan praktek monopoli dan persaingan
usaha tidak sehat.
G.
Sanksi dalam Antimonopoli dan Persaingan Usaha
Pasal 36 UU Anti Monopoli, salah satu wewenang
KPPU adalah melakukan penelitian, penyelidikan dan menyimpulkan hasil
penyelidikan mengenai ada tidaknya praktik monopoli dan atau persaingan usaha
tidak sehat. Masih di pasal yang sama, KPPU juga berwenang menjatuhkan sanksi
administratif kepada pelaku usaha yang melanggar UU Anti Monopoli. Apa saja
yang termasuk dalam sanksi administratif diatur dalam Pasal 47 Ayat (2) UU Anti
Monopoli. Meski KPPU hanya diberikan kewenangan menjatuhkan sanksi
administratif, UU Anti Monopoli juga mengatur mengenai sanksi pidana. Pasal 48
menyebutkan mengenai pidana pokok. Sementara pidana tambahan dijelaskan dalam
Pasal 49.
Pasal 48
(1) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 4,
Pasal 9 sampai dengan Pasal 14, Pasal 16 sampai dengan Pasal 19, Pasal 25,
Pasal 27, dan Pasal 28 diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp25.000.000.000
(dua puluh lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp100.000.000.000
(seratus miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 6
(enam) bulan.
(2) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 5
sampai dengan Pasal 8, Pasal 15, Pasal 20 sampai dengan Pasal 24, dan Pasal 26
Undang-Undang ini diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp5.000.000.000 (
lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp25.000.000.000 (dua puluh lima
miliar rupialh), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 5 (lima)
bulan.
(3) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 41
Undang-undang ini diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp1.000.000.000 (satu
miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp5.000.000.000 (lima miliar rupiah), atau
pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 3 (tiga) bulan.
Pasal 49
Dengan menunjuk ketentuan Pasal 10 Kitab Undang-undang Hukum
Pidana, terhadap pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 48 dapat dijatuhkan
pidana tambahan berupa:
a.
pencabutan izin usaha; atau
b.
larangan kepada pelaku usaha yang telah
terbukti melakukan pelanggaran terhadap undang-undang ini untuk menduduki
jabatan direksi atau komisaris sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan
selama-lamanya 5 (lima) tahun; atau
c.
penghentian kegiatan atau tindakan tertentu
yang menyebabkan timbulnva kerugian pada pihak lain.
Aturan ketentuan pidana di dalam UU Anti Monopoli menjadi aneh
lantaran tidak menyebutkan secara tegas siapa yang berwenang melakukan
penyelidikan atau penyidikan dalam konteks pidana.
BAB 14Penyelesaian Sengketa Ekonomi
A.
Pengertian
Sengketa
Pengertian sengketa dalam kamus Bahasa
Indonesia, berarti pertentangan atau konflik, Konflik berarti adanya oposisi
atau pertentangan antara orang-orang, kelompok-kelompok, atau
organisasi-organisasi terhadap satu objek permasalahan. Senada dengan itu
Winardi mengemukakan :
Pertentangan atau konflik yang terjadi antara
individu-individu atau kelompok-kelompok yang mempunyai hubungan atau
kepentingan yang sama atas suatu objek kepemilikan, yang menimbulkan akibat
hukum antara satu dengan yang lain.
Sedangkan menurut Ali Achmad berpendapat :
Sengketa adalah pertentangan antara dua pihak
atau lebih yang berawal dari persepsi yang berbeda tentang suatu kepentingan
atau hak milik yang dapat menimbulkan akibat hukum bagi keduanya.
Dari kedua pendapat diatas maka dapat
dikatakan bahwa sengketa adalah prilaku pertentangan antara dua orang atau
lebih yang dapat menimbulkan suatu akibat hukum dan karenanya dapat diberi
sangsi hukum bagi salah satu diantara keduanya
B.
Penyelesaian
Sengketa Ekonomi
Penyelesaian sengketa secara damai bertujuan
untuk mencegah dan mengindarkan kekerasan atau peperangan dalam suatu
persengketaan antar negara. Menurut pasal 33 ayat 1 (Perekonomian disusun
sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan) Piagam PBB penyelesaian
sengketa dapat ditempuh melalui cara-cara sebagai berikut:
1.
Negosiasi (perundingan)
Perundingan
merupakan pertukaran pandangan dan usul-usul antara dua pihak untuk
menyelesaikan suatu persengketaan, jadi tidak melibatkan pihak ketiga.
2.
Enquiry (penyelidikan)
Penyelidikan
dilakukan oleh pihak ketiga yang tidak memihak dimaksud untuk mencari fakta.
3.
Good offices (jasa-jasa baik)
Pihak
ketiga dapat menawarkan jasa-jasa baik jika pihak yang bersengketa tidak dapat
menyelesaikan secara langsung persengketaan yang terjadi diantara mereka.
C.
Penyelesaian
perkara perdata melalui sistem peradilan:
1.
Memberi kesempatan yang tidak adil (unfair),
karena lebih memberi kesempatan kepada lembaga-lembaga besar atau orang kaya.
2.
Sebaliknya secara tidak wajar menghalangi
rakyat biasa (ordinary citizens) untuk perkara di pengadilan.
D.
Tujuan
memperkarakan suatu sengketa:
1.
Adalah untuk menyelesaikan masalah yang
konkret dan memuaskan,
2.
Dan pemecahannya harus cepat (quickly), wajar
(fairly) dan murah (inexpensive)
Selain dari pada itu berperkara melalui pengadilan:
1.
lama dan sangat formalistik (waste of time and
formalistic),
2.
biaya tinggi (very expensive),
3.
secara umum tidak tanggap (generally
unresponsive),
4.
kurang memberi kesempatan yang wajar (unfair
advantage) bagi yang rakyat biasa.
E.
Sistem
Alternatif Yang Dikembangkan
a)
Sistem Mediation
Mediasi
berarti menengahi atau penyelesaian sengketa melalui penengah (mediator).
Dengan demikian sistem mediasi, mencari penyelesaian sengketa melalui mediator
(penengah). Dari pengertian di atas, mediasi merupakan salah satu alternatif
penyelesaian sengketa sebagai terobosan atas cara-cara penyelesaian tradisional
melalui litigation (berperkara di pengadilan). Pada mediasi, para pihak yang
bersengketa, datang bersama secara pribadi. Saling berhadapan antara yang satu
dengan yang lain. Para pihak berhadapan dengan mediator sebagai pihak ketiga
yang netral. Peran dan fungsi mediator, membantu para pihak mencari jalan
keluar atas penyelesaian yang mereka sengketakan. Penyelesaian yang hendak
diwujudkan dalam mediasi adalah compromise atau kompromi di antara para pihak.
Dalam mencari kompromi, mediator memperingatkan, jangan sampai salah satu pihak
cenderung untuk mencari kemenangan. Sebab kalau timbul gejala yang seperti itu,
para pihak akan terjebak pada yang dikemukakan Joe Macroni Kalau salah satu
pihak ingin mencari kemenangan, akan mendorong masing-masing pihak menempuh
jalan sendiri (I have may way and you have your way). Akibatnya akan terjadi jalan
buntu (there is no the way).
Cara dan sikap yang seperti itu, bertentangan dengan asas mediasi:
1. bertujuan
mencapai kompromi yang maksimal,
2. pada
kompromi, para pihak sama-sama menang atau win-win,
3. oleh
karena itu tidak ada pihak yang kalah atau losing dan tidak ada yang menang
mutlak.
Manfaat yang paling menonjol, antara lain:
1. Penyelesaian
cepat terwujud (quick). Rata-rata kompromi di antara pihak sudah dapat terwujud
dalam satu minggu atau paling lama satu atau dua bulan. Proses pencapaian
kompromi, terkadang hanya memerlukan dua atau tiga kali pertemuan di antara
pihak yang bersengketa.
2. Biaya
Murah (inexpensive). Pada umumnya mediator tidak dibayar. Jika dibayarpun,
tidak mahal. Biaya administrasi juga kecil. Tidak perlu didampingi pengacara,
meskipun hal itu tidak tertutup kemungkinannya. Itu sebabnya proses mediasi
dikatakan tanpa biaya atau nominal cost.
3. Bersifat
Rahasia (confidential). Segala sesuatu yang diutarakan para pihak dalam proses
pengajuan pendapat yang mereka sampaikan kepada mediator, semuanya bersifat
tertutup. Tidak terbuka untuk umum seperti halnya dalam proses pemeriksaan
pengadilan (there is no public docket). Juga tidak ada peliputan oleh wartawan
(no press coverage).
4. Bersifat
Fair dengan Metode Kompromi. Hasil kompromi yang dicapai merupakan penyelesaian
yang mereka jalin sendiri, berdasar kepentingan masing-masing tetapi kedua
belah pihak sama-sama berpijak di atas landasan prinsip saling memberi
keuntungan kepada kedua belah pihak. Mereka tidak terikat mengikuti preseden hukum
yang ada. Tidak perlu mengikuti formalitas hukum acara yang dipergunakan
pengadilan. Metode penyelesaian bersifat pendekatan mencapai kompromi. Tidak
perlu saling menyodorkan pembuktian. Penyelesaian dilakukan secara: (a)
informal, (b) fleksibel, (c) memberi kebebasan penuh kepada para pihak
mengajukan proposal yang diinginkan.
5. Hubungan
kedua belah pihak kooperatif. Dengan mediasi, hubungan para pihak sejak awal
sampai masa selanjutnya, dibina diatas dasar hubungan kerjasama (cooperation)
dalam menyelesaikan sengketa. Sejak semula para pihak harus melemparkan
jauh-jauh sifat dan sikap permusuhan (antagonistic). Lain halnya berperkara di
pengadilan. Sejak semula para pihak berada pada dua sisi yang saling berhantam
dan bermusuhan. Apabila perkara telah selesai, dendam kesumat terus membara
dalam dada mereka.
6. Hasil yang
dicapai WIN-WIN. Oleh karena penyelesaian yang diwujudkan berupa kompromi yang
disepakati para pihak, kedua belah pihak sama-sama menang. Tidak ada yang kalah
(lose) tidak ada yang menang (win), tetapi win-win for the beneficial of all.
Lain halnya penyelesaian sengketa melalui pengadilan. Pasti ada yang kalah dan
menang. Yang menang merasa berada di atas angin, dan yang kalah merasa terbenam
diinjak-injak pengadilan dan pihak yang menang.
7. Tidak
Emosional. Oleh karena cara pendekatan penyelesaian diarahkan pada kerjasama
untuk mencapai kompromi, masing-masing pihak tidak perlu saling ngotot
mempertahankan fakta dan bukti yang mereka miliki. Tidak saling membela dan
mempertahankan kebenaran masing-masing. Dengan demikian proses penyelesaian
tidak ditunggangi emosi.
b)
Sistem Minitrial
Sistem
yang lain hampir sama dengan mediasi ialah minitrial. Sistem ini muncul di
Amerika pada tahun 1977. Jadi kalau terjadi sengketa antara dua pihak, terutama
di bidang bisnis, masing-masing pihak mengajak dan sepakat untuk saling
mendengar dan menerima persoalan yang diajukan pihak lain:
1.
setelah itu baru mereka mengadakan perundingan
(negotiation),
2.
sekiranya dari masalah yang diajukan
masing-masing ada hal-hal yang dapat diselesaikan, mereka tuangkan dalam satu
resolusi (resolution).
c)
Sistem Concilition
Konsolidasi
(conciliation), dapat diartikan sebagai pendamai atau lembaga pendamai. Bentuk
ini sebenarnya mirip dengan apa yang diatur dalam Pasal 131 HIR. Oleh karena
itu, pada hakikatnya sistem peradilan Indonesia dapat disebut mirip dengan mix
arbitration, yang berarti:
1.
pada tahap pertama proses pemeriksaan perkara,
majelis hakim bertindak sebagai conciliator atau majelis pendamai,
2.
setelah gagal mendamaikan, baru terbuka
kewenangan majelis hakim untuk memeriksa dan mengadili perkara dengan jalan
menjatuhkan putusan.
Akan tetapi, dalam kenyataan praktek, terutama
pada saat sekarang; upaya mendamaikan yang digariskan pasal 131 HIR, hanya
dianggap dan diterapkan sebagai formalitas saja. Jarang ditemukan pada saat
sekarang penyelesaian sengketa melalui perdamaian di muka hakim.
Lain halnya di negara-negara kawasan Amerika,
Eropa, maupun di kawasan Pasific seperti Korea Selatan, Jepang, Hongkong,
Taiwan, dan Singapura. Sistem konsiliasi sangat menonjol sebagai alternatif.
Mereka cenderung mencari penyelesaian melelui konsiliasi daripada mengajukan ke
pengadilan.
Di negara-negara yang dikemukakan di atas,
lembaga konsiliasi merupakan rangkaian mata rantai dari sistem penyelesaian
sengketa dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1.
pertama; penyelesaian diajukan dulu pada
mediasi
2.
kedua; bila mediasi gagal, bisa dicoba mencari
penyelesaian melalui minirial
3.
ketiga; apabila upaya ini gagal, disepakati
untuk mencari penyelesaian melalui kosolidasi,
4.
keempat; bila konsiliasi tidak berhasil, baru
diajukan ke arbitrase.
Memang,
setiap kegagalan pada satu sistem, penyelesaian sengketa dapat langsung
diajukan perkaranya ke pengadilan (ordinary court). Misalnya, mediasi gagal.
Para pihak langsung mencari penyelesaian melalui proses berperkara di
pengadilan. Akan tetapi pada saat sekarang jarang hal itu ditempuh. Mereka
lebih suka mencari penyelesaian melalui sistem alternatif, daripada langsung
mengajukan ke pengadilan. Jadi di negara-negara yang disebut di atas,
benar-benar menempatkan kedudukan dan keberadaan pengadilan sebagai the last
resort, bukan lagi sebagai the first resort.
Biasanya
lembaga konsiliasi merupakan salah satu bagian kegiatan lembaga arbitrase,
arbitrase institusional, bertindak juga sebagai conciliation yang bertindak
sebagai conciliator adalah panel yang terdaftar pada Arbitrase Institusional
yang bersangkutan:
1.
Sengketa yang diselesaikan oleh lembaga
konsiliasi pada umumnya meliputi sengketa bisnis,
2.
hasil penyelesaian yang diambil berbentuk
resolution, bukan putusan atau award (verdict),
3.
oleh karena itu, hasil penyelesaian yang
berbentuk resolusi tidak dapat diminta eksekusi ke pengadilan,
4.
dengan demikian, walaupun resolusi memeng itu
bersifat binding (mengikat) kepada para pihak, apabila salah satu pihak tidak
menaati dengan sukarela tidak dapat diminta eksekusi ke pengadilan. Dalam hal
yang seperti itu penyelesaian selanjutnya harus mengajukan gugatan ke
pengadilan.
d)
Sistem Adjudication
Sistem
Adjudication merupakan salah satu alternatif penyelesaian sengketa bisnis yang
baru berkembang di beberapa negara. Sistem ini sudah mulai populer di Amerika
dan Hongkong.
Secara
harafiah, pengertian “ajuddication” adalah putusan. Dan memang demikian halnya.
Para pihak yang bersengketa sepakat meminta kepada seseorang untuk menjatuhkan
putusan atas sengketa yang timbul diantara mereka:
1.
orang yang diminta bertindak dalam
adjudication disebut adjudicator
2.
dan dia berperan dan berfungsi seolah-olah
sebagai HAIM (act as judge),
3.
oleh karena itu, dia diberi hak mengambil
putusan (give decision).
Pada prinsipnya, sengketa yang diselesaikan
melalui sistem adjudication adalah sengketa yang sangat khusus dan kompleks
(complicated). Tidak sembarangan orang dapat menyelesaiakan, karena untuk itu
diperlukan keahlian yang khusus oleh seorang spesialis profesional. Sengketa
konstruksi misalnya. Tidak semua orang dapat menyelesaikan. Diperlukan seorang
insinyur profesional. Di Hongkong misalnya. Sengketa mengenai pembangunan
lapangan terbang ditempuh melalui lembaga adjudication oleh seorang adjudicator
yang benar-benar ahli mengenai kontruksi lapangan terbang.
Proses penyelesaian sengketa meleui sistem
ini, sangat sederhana. Apabila timbul sengketa:
1.
para pihak membuat kesepakatan penyelesaian
melaui adjudication,
2.
berdasar persetujuan ini, mereka menunjuk
seorang adjudicator yang benar-benar profesional,
3.
dalam kesepakatan itu, kedua belah pihak
diberi kewenangan (authority) kepada adjudicator untuk mengabil keputusan
(decision) yang mengikat kepada kedua belah pihak (binding to each party),
4. sebelum
mengambil keputusan, adjudicator dapat meminta informasi dari kedua belah
pihak, baik secara terpisah maupun secara bersama-sama.
e)
Sistem Arbitrase
Mengenai
arbitrase, sudah lama dikenal. Semula dikenal oleh Inggris dan Amerika pada
tahun 1779 melaui Jay Treaty. Berdasar data ini, perkembangan arbitrase sebagai
salah satu sistem alternatif tempat penyelesaian sengketa, sudah berjalan selam
adua abad.Sekarang semua negara di dunia telah memiliki Undang-undang arbitrase.
Di
Indonesia ketentuan arbitrase diatur dalam Buku Ketiga RV. Dengan demikian,
umurnya sudah terlampau tua, karena RV dikodifikasi pada tahun 1884. Oleh
karena itu, aturan yang terdapat didalamnya sudah ketinggalan, jika
dibandingkan dengan perkembangan kebutuhan.
Memang
banyak persamaan prinsip antara arbitrase dengan sistem alternatif yang lain
tadi, seperti:
1.
sederhana dan cepat (informal dan quick),
2.
prinsip konfidensial,
3.
diselesaikan oleh pihak ketiga netral yang
memiliki pengetahuan khusus secara profesional.
Namun, demikian, di balik persamaan itu
terdapat perbedaan dianggap fundamental, sehingga dunia bisnis lebih cenderung
memiliki mediation, minitrial atau adjusdication. Perbedaan yang dianggap
fundamental, antara lain dapat dikemukakan hal-hal sebagai berikut:
1.
Masalah
biaya, dianggap sangat mahal (expensive). Biaya yang harus dikeluarkan
penyelesaian arbitrase, hampir sama adengan biaya litigasi di pengadilan.
Terdapat beberapa komponen biaya yang harus dikeluarkan, sehingga terkadang
jauh lebih besar biaya dengan apa yang harus dikeluarkan bila perkara diajukan
ke pengadilan. Komponen biaya atrbitrase terdiri dari: (a) Biaya administrasi
(b) Honor arbitrator. (c) Biaya transportasi dan akomodasi arbitrator (d) Biaya
saksi dan ahli. Komponen biaya yang seperti itu, tidak ada dalam mediasi atau
minitrial. Jika pun ada biaya yang harus dikeluarkan, jauh lebih kecil. Apalagi
mediasi, boleh dikatakan tanpa biaya atau nominal cost.
2.
Masalah
sederhana dan cepat. Memang benar salah satu prinsip pokok
penyelesaian sengketa melalui arbitrase adalah informal procedure and can be
put in motion quickly. Jadi prinsipnya informal dan cepatI. Tetapi kenyataan
yang terjadi adalah lain. Tanpa mengurangi banyaknya sengketa yang diselesaikan
arbitrase dalam jangka waktu 60-90 hari, Namun banyak pula penyelesaian yang
memakan waktu panjang. Bahkan ada yang bertahun-tahun atau puluhan tahun.
Apalagi timbul perbedaan pendapat mengenai penunjukkan arbitrase, Rule yang
disepakati atau hukum yang hendak diterapkan (governing law), membuat proses
penyelesaian bertambah rumit dan panjang.
Kelebihan tersebut antara lain:
1.
Dijamin kerahasiaan sengketa para pihak
2.
dapat dihindari kelambatan yang diakibatkan
karena prosedural dan administratif;
3.
para pihak dapat memilih arbiter yang menurut
keyakinannya mempunyai pengetahuan, pengalaman serta latar belakang yang cukup
mengenai masalah yang disengketakan, jujur dan adil;
4.
para pihak dapat menentukan pilihan hukum
untuk menyelesaikan masalahnya serta proses dan tempat penyelenggaraan
arbitrase; dan
5.
putusan arbitrase merupakan putusan yang
mengikat para pihak dan dengan melalui tata cara (prosedur) yang sederhana saja
ataupun langsung dapat dilaksanakan.
Secara garis besar dapat dikatakan bahwa
penyelesaian sengketa dapat digolongkan dalam 3 (tiga) golongan, yaitu:
1.
Penyelesaian sengketa dengan menggunakan
negosiasi, baik yang bersifat langsung (negtation simplister) maupun dengan
penyertaan pihak ketiga (mediasi dan konsiliasi),
2.
Penyelesaian sengketa dengan cara litigasi,
baik yang bersifat nasional maupun internasional.
3.
Penyelesaian sengketa dengan menggunakan
arbitrase, baik yang bersifat ad-hoc yang terlembaga.
Arbitrase
secara umum dapat dilakukan dalam penyelesaian sengketa publik maupun perdata,
namun dalam perkembangannya arbitrase lebih banyak dipilih untuk menyelesaikan
sengketa kontraktual (perdata). Sengketa perdata dapat digolongkan menjadi:
1.
Quality arbitration, yang menyangkut
permasalahan faktual (question of fact) yang dengan sendirinya memerlukan para
arbiter dengan kualifikasi teknis yang tinggi.
2.
Technical arbitration, yang tidak menyangkut
permasalahan faktual, sebagaimana halnya dengan masalah yang timbul dalam
dokumen (construction of document) atau aplikasi ketentuan-ketentuan kontrak.
3.
Mixed arbitration, sengketa mengenai
permasalahan faktual dan hukum (question of fact and law).
SUMBER :