Sunday, June 29, 2014

Era Pemerintahan SBY - Boediono

MENAKAR GOOD GOVERNANCE
DI ERA PEMERINTAHAN SBY-BOEDIONO 2009-2014
Oleh: Hermini Susiatiningsih*
Abstract:
The agenda of implementing good governance  the second term of SBY-Boediono government are very challenging. There are some cases such as Century Bank Gate, Bibit-Candra Case and other unfair law processes in early SBY-Boediono government need serious attentions. SBY-Boediono government faces huge public pressures in relating to combating corruptions, improving public services and satisfying public needs. Many problems such as improving public services, combating corruptions, implementing public organization reform, increasing public participation, transparency and accountability should be handled well in the near future regarding to some important agendas

Key words: good governance, public service, government reform, participation

PENDAHULUAN

Agenda besar yang dihadapi pemerintahan SBY-Boediono pada periode 2009-2014 adalah bagaimana mampu mewujudkan Good Governance pada tataran implementatif dan bukan retorik semata. SBY dalam kepemimpinan nasional selama ini masih dihadapkan pada persepsi bahwa SBY  masih lebih banyak bermain politik pada ranah retorika ketimbang tindakan yang nyata dan cepat untuk mengatasi masalah di lapangan.
Dari kasus-kasus besar yang menyangkut elite seperti kasus Bank Century, kasus Bibit-Chandra,  kasus Cicak melawan Buaya, kasus Antasari hingga pada kasus yang menimpa rakyat kecil seperti kasus Prita Mulyasari, kasus Mbah Minah “mencuri”  buah kakao, dan sebagainya adalah  merupakan fenomena  gunung es yang masih sangat besar potensi masalahnya karena sesungguhnya persoalan pada kenyataannya masih sangat banyak terjadi di sekitar kita.  Ini semua merupakan agenda kebijakan besar yang sekaligus juga tantangan besar bagi upaya-upaya pemerintahan SBY-Boediono dalam mengelola pemerintahan di periode kedua SBY ini.
Mesti beberapa kasus telah “terselesaikan”, ketika artikel ini ditulis, kasus Bank Century  sedang menjadi medan magnit yang menyedot perhatian publik. Kasus ini merupakan salah satu tantangan berat yang harus dihadapi dan segera diselesaikan oleh pemerintahan SBY-Boediono saat ini, karena akan menjadi persoalan politik dan ekonomi yang tidak sederhana bagi kesinambungan pemerintahan incumbent sekarang ini.
Oleh karena itu maka artikel ini akan membahas tentang konsep good governance dan berbagai hal agenda yang seharusnya dilakukan oleh pemerintahan SBY-Boediono.  Pada tataran yang lebih operasional, beberapa hal akan disinggung dalam tulisan ini seperti  tentang konsep good governance dan juga urgensi indeks good governance. Pada bagian akhir akan diulas tentang agenda-agenda good governance macam apakah yang  perlu diselesaikan  oleh pemerintahan SBY-Boediono.

KONSEPSI GOOD GOVERNANCE

Dalam kajian-kajian pemerintahan yang bersifat institusionalisme atau kelembagaan, pemerintah dimaknai sebagai institusi atau lembaga sedangkan pemerintahan adalah kerja pemerintah. Inilah yang dimaknai sebagai konsep government. Dalam arti luas, government diartikan sebagai lembaga-lembaga yang bertanggung jawab membuat keputusan kolektif bagi masyarakat, sementara dalam arti sempit, government adalah pejabat politik paling tinggi dalam lembaga-lembaga itu, yaitu presiden, perdana menteri, dan menteri.
Pemahaman tentang pemerintah dalam konsep ini menempatkan pemerintah sebagai aktor dominan bahkan aktor utama dalam penyelenggaraan pemerintahan. Keputusan kolektif dalam masyarakat dibuat sendiri oleh seorang pimpinan, misalnya presiden atau kepala daerah, atau oleh satu kelompok (misalnya kabinet). Peranan masyarakat terbatas sebagai kelompok sasaran dalam pelaksanaan kebijakan, bahkan partisipasi masyarakat dimaknai secara sempit hanya sebagai formalitas dalam mendukung legitimasi kebijakan yang dibuat pemerintah. Secara umum, istilah government lebih mudah dipahami sebagai pemerintah yaitu lembaga beserta aparaturnya yang mempunyai tanggung jawab untuk mengurus negara dan menjalankan kehendak rakyat, kecenderungannya lebih tertuju pada lembaga eksekutif atau kepresidenan (executive heavy). Selanjutnya ditegaskan bahwa wacana mengenai government lebih mengarah pada meminimalkan peran negara dan mempromosikan peran sektor swasta atau “limitation of the state’s roles”. Terdapat pula diskusi mengenai reformasi aparatur negara (civil service reform), namun hal ini tidak lebih dari bagian agenda ekonomi untuk penyesuaian struktural (structural adjustment). Wacana government adalah fenomena yang berkembang pada abad 20 di mana negara memegang hegemoni kekuasaan atas rakyat. Ketika negara (pemerintah) memegang hegemoni maka tertib sosial cenderung ditegakkan secara hierarkhis dan birokratis, dan kurang mengandalkan pada mekanisme spontan yang dapat berlangsung dari dalam masyarakat, oleh kekuatan yang ada pada masyarakat itu sendiri. Kegagalan konsep sentralisasi menyebabkan terjadinya pergeseran paradigma pemerintahan yang semula menekankan pada institusi pemerintah (government) menjadi governance, yakni suatu konsep yang memandang pemerintahan sebagai suatu proses yang tidak lagi bersifat “intra bureaucratic anality” (perspektif yang melihat aktivitas dan kekuasaan pemerintahan di dalam dirinya sendiri). Kinerja pemerintahan harus dilihat dari interaksi dan relasi antara berbagai faktor dan aktor di luar birokrasi (Oyugi, 2000: 67-69).
Konsep governance dimunculkan sebagai alternatif model dan metode governing (proses pemerintahan) yang lebih mengandalkan pada pelibatan seluruh elemen masyarakat, baik pemerintah, semi pemerintah, atau non pemerintah, seperti lembaga bisnis, LSM, komunitas, atau lembaga-lembaga sosial lainnya. Dengan cara pandang itu, sekat-sekat formalitas negara atau pemerintah menjadi terabaikan. Konsep governance melihat kegiatan, proses atau kualitas memerintah, bukan tentang struktur pemerintahan, tetapi kebijakan yang dibuat dan efektivitas penerapan kebijakan itu. Kebijakan bukan dibuat oleh seorang pemimpin atau satu kelompok tertentu melainkan muncul dari proses konsultasi antara berbagai pihak yang terkena oleh kebijakan itu (Oyugi, 2000: 30-31).
Dalam konsep ini, pemerintah bukan satu-satunya aktor dan tidak selalu menjadi pelopor dalam penyelenggaraan pemerintahan. Sebagai fungsi pengelolaan masyarakat yang kompleks, governance melibatkan relasi antara berbagai kekuatan dalam negara, yakni pemerintah (state), civil society, economic society, dan political society (Corbett 2000: 23-27; Keating, 1999: 40-43).


INDEKS GOOD GOVERNANCE

Dalam tataran implementatif, guna mewujudkan good governance maka diperlukan metode untuk mengukur kapasitas good governance itu yang sering disebut sebagai pengukuran Indeks Good Governance (IGG). Pengukuran mengenai indeks tata kelola pemerintahan, khususnya yang berbasis governance sudah mulai dilakukan sejak tahun 1998 melalui indeks yang disusun oleh Jeff Huther dan Anwar Shah. Namun, selain indeks tersebut, sebenarnya ada sejumlah pendekatan yang dapat digunakan untuk menyusun indeks pemerintahan berbasis governance. Secara umum, berbagai pendekatan tersebut membangun indikator-indikator governance dengan berlandaskan pada konsep governance yang antara lain terutama mensyaratkan adanya partisipasi, transparansi, akuntabilitas, dan penegakan hukum (rule of law).
Secara khusus, pengukuran Indeks Good Governance (IGG) juga pernah dilakukan di Indonesia ketika UU No. 22 Tahun 1999 baru diberlakukan. Pengukuran ini dilaksanakan dalam bentuk Governance and Decentralization Surveys (GDS) yang dilaksanakan pada tahun 2002 di sekitar 177 kabupaten/kota di seluruh wilayah Indonesia. Indikator yang digunakan dalam survei ini mencakup isu-isu governance seperti: (1) akuntabilitas; (2) partisipasi; (3) penegakan hukum; (4) keadilan; (5) responsivitas politisi; (6) tingkat KKN; serta (7) kualitas pelayanan publik. Berbeda dari model-model sebelumnya yang melakukan pengukuran Indeks Good Governance untuk tingkat pemerintah pusat (nasional), GDS melakukan pengukuran IGG untuk tingkat pemerintah kabupaten/kota dalam kaitannya dengan pelaksanaan desentralisasi (Bappenas, 2008: 20-22).
VARIABEL-VARIABEL PENTING DALAM GOOD GOVERNMENT

Mengacu kepada grand design penerapan tata kepemerintahan yang baik di Indonesia yang telah disusun oleh Tim Pengembangan Kebijakan Nasional Tata Kepemerintahan yang Baik BAPPENAS,  sekurang-kurangnya terdapat empat belas nilai yang menjadi prinsip tata kepemerintahan yang baik (Bapenas, 2008: 5-15), yaitu :
1.         Wawasan ke Depan (Visionary);
2.         Keterbukaan dan Transparansi (Openness and Transparency);
3.         Partisipasi Masyarakat (Participation);
4.         Tanggung Gugat (Accountability);
5.         Supremasi Hukum (Rule of Law);
6.         Demokrasi (Democracy);
7.         Profesionalisme dan Kompetensi (Profesionalism and Competency);
8.         Daya Tanggap (Responsiveness);
9.         Efisiensi dan Efektivitas (Efficiency and Effectiveness);
10.      Desentralisasi (Decentralization);
11.      Kemitraan dengan Dunia Usaha Swasta dan Masyarakat (Private and Civil Society Partnership);

12.      Komitmen pada Pengurangan Kesenjangan (Commitment to Reduce Inequality);

13.      Komitmen pada Perlindungan Lingkungan Hidup (Commitment to Environmental Protection);

14.      Komitmen pada Pasar yang Fair (Commitment to Fair Market).

Pada saat ini, mengingat demikian luasnya cakupan substansi permasalahan tentang penyelenggaraan pemerintahan, maka penerapan prinsip tersebut dalam penyelenggaraan pemerintahan sekarang ini masih menunjuk pada empat indikator utama (Bapenas, 2008: 15)  yaitu:
1.    Transparansi (Openness and Transparency).
2.    Partisipasi Masyarakat (Participation).
3.    Akuntabilitas/Tanggung Gugat (Accountability).
4.    Supremasi Hukum (Rule of Law).
Keempat prinsip tersebut di atas lah yang oleh Tim Pengembangan Kebijakan Nasional Tata Kepemerintahan yang Baik BAPPENAS disebut dengan “More Administrative Good Governance”. Penjelasan secara lebih rinci atas keempat prinsip tersebut selengkapnya dapat dijelaskan pada uraian berikut.
Transparansi. Transparansi merujuk pada ketersediaan informasi dan kejelasan bagi masyarakat umum untuk mengetahui proses penyusunan, pelaksanaan, serta hasil yang telah dicapai melalui sebuah kebijakan publik. Semua urusan tata kepemerintahan berupa kebijakan-kebijakan publik, baik yang berkenaan dengan pelayanan publik maupun pembangunan di daerah harus diketahui publik. Isi keputusan dan alasan pengambilan kebijakan publik harus dapat diakses oleh publik. Demikian pula informasi tentang kegiatan pelaksanaan kebijakan tersebut beserta hasil-hasilnya harus terbuka dan dapat diakses publik. Dalam hal ini, aparatur pemerintahan harus bersedia secara terbuka dan jujur memberikan informasi yang dibutuhkan publik. Upaya pembentukan masyarakat transparansi, forum komunikasi langsung dengan eksekutif dan legislatif, wadah komunikasi dan informasi lintas pelaku baik melalui media cetak maupun elektronik, merupakan contoh wujud nyata prinsip keterbukaan dan transparansi. Tidak adanya keterbukaan dan transparansi dalam urusan pemerintahan akan menyebabkan kesalahpahaman terhadap berbagai kebijakan publik yang dibuat.
            Partisipasi. Partisipasi masyarakat merujuk pada keterlibatan aktif masyarakat dalam pengambilan keputusan yang berhubungan dengan penyelenggaraan pemerintahan. Partisipasi masyarakat mutlak diperlukan agar penyelenggara pemerintahan dapat lebih mengenal warganya berikut cara pikir dan kebiasaan hidupnya, masalah yang dihadapinya, cara atau jalan keluar yang disarankannya, apa yang dapat disumbangkan dalam memecahkan masalah yang dihadapi, dan sebagainya. Dengan demikian kepentingan masyarakat dapat tersalurkan di dalam penyusunan kebijakan sehingga dapat mengakomodasi sebanyak mungkin aspirasi dan kepentingan masyarakat, serta mendapat dukungan masyarakat  luas. Kehadiran dan keikutsertaan warga masyarakat dalam forum pertemuan publik, serta keaktifan mereka dalam menyumbangkan pikiran dan saran menunjukkan bahwa urusan pemerintahan juga menjadi urusan mereka dan bukan semata urusan birokrat. Meskipun demikian, harus diakui bahwa tidaklah mudah mengikutsertakan semua lapisan masyarakat dalam suatu forum sekaligus. Salah satu alternatif pemecahannya adalah memberi akses kepada seluruh masyarakat serta wakil dari berbagai lapisan masyarakat untuk berpartisipasi menyuarakan kepentingan kelompok yang diwakilinya dan mengajukan usul serta pikiran dalam forum-forum pertemuan publik, misalnya pada musyawarah pembangunan tingkat desa atau konsultasi regional pembangunan. Kurangnya partisipasi dalam penyelenggaraan pemerintahan akan  menyebabkan kebijakan publik yang diputuskan tidak mampu mengakomodasi berbagai aspirasi dan kepentingan masyarakat, yang dapat mengakibatkan kegagalan dalam pencapaian tujuan kebijakan tersebut.
            Akuntabilitas. Akuntabilitas publik adalah suatu ukuran atau standar yang menunjukkan seberapa besar tingkat kesesuaian penyelenggaraan penyusunan kebijakan publik dengan peraturan hukum dan perundang-undangan yang berlaku untuk organisasi publik yang bersangkutan. Pada dasarnya, setiap pengambilan kebijakan publik akan memiliki dampak tertentu pada sekelompok orang atau seluruh masyarakat, baik dampak yang menguntungkan atau merugikan, maupun langsung atau tidak langsung. Oleh karena itu, penyusun kebijakan publik harus dapat mempertanggungjawabkan setiap kebijakan yang diambilnya kepada  publik. Penerapan prinsip akuntabilitas atau tanggung jawab/tanggung gugat dalam penyelenggaraan pemerintahan diawali pada saat penyusunan program pelayanan publik dan pembangunan (program accountability), pembiayaannya (fiscal accountability), serta pelaksanaan, pemantauan, dan penilaiannya (process accountability) sehingga program tersebut dapat memberikan hasil atau dampak optimal sesuai dengan sasaran atau tujuan yang ditetapkan (outcome accountability). Para penyelenggara pemerintahan menerapkan prinsip akuntabilitas dalam hubungannya dengan masyarakat/publik (outwards accountability), dengan aparat bawahan yang ada di dalam instansi pemerintahan itu sendiri (downwards accountability), dan kepada atasan mereka (upwards accountability). Berdasarkan substansinya, prinsip akuntabilitas mencakup akuntabilitas administratif seperti penggunaan sistem dan prosedur tertentu (administrative accountability), akuntabilitas hukum (legal accountability), akuntabilitas politik antara eksekutif kepada legislatif (political accountability), akuntabilitas profesional seperti penggunaan metode dan teknik tertentu (professional accountability), dan akuntabilitas moral (ethical accountability). Apabila semua yang disebut terdahulu dapat terpenuhi, kepercayaan rakyat kepada aparat dan keandalan lembaga pemerintahan yang ada akan tumbuh. Penyelenggaraan pemerintahan yang tidak menerapkan akuntabilitas akan menimbulkan penyalahgunaan wewenang. Dengan penerapan prinsip akuntabilitas tersebut, diharapkan pertanggungjawaban penyelenggaraan pemerintah/institusi/unit kerja tidak lagi sekedar laporan kesan-kesan dan pesan-pesan, tetapi menjadi laporan pertanggungjawaban kinerja selama yang bersangkutan menjabat. Hal ini sejalan dengan kebijakan Anggaran Berbasis Kinerja.
            Prinsip supremasi hukum sangat relevan untuk menjadi prioritas analisis mengingat dalam pemberian pelayanan publik dan pelaksanaan pembangunan seringkali terjadi pelanggaran hukum, seperti yang paling populer saat ini yaitu terjadinya penyalahgunaan kekuasaan dalam bentuk Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN), serta pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Dalam hal ini, siapa saja yang melanggarnya harus diproses dan ditindak secara hukum atau sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Wujud nyata prinsip ini mencakup upaya pemberdayaan lembaga-lembaga penegak hukum, penuntasan kasus KKN dan pelanggaran HAM, peningkatan kesadaran HAM, peningkatan kesadaran hukum, serta pengembangan budaya hukum. Tidak diterapkannya  prinsip supremasi hukum akan menimbulkan ketidakpastian dalam penyelenggaraan pemerintahan.


AGENDA PEMERINTAHAN SBY-BOEDIONO

Pada tataran implementasi di lapangan, variable-variabel good governance tersebut diatas tidaklah mudah untuk dicapai. Berbagai upaya kebijakan pemerintah telah dilakukan untuk mewujudkan peningkatan kesejahteraan rakyat dan kepuasan publik.  Namun demikian hasilnya belum memuaskan semua pihak oleh karena pada tataran internasional baik tingkat dunia maupun tingkat Asia, angka indeks korupsi Indonesia masih cukup parah dibandingakan dengan berbagai Negara, termasuk  Vietnam sekalipun. Padahal Vietnam bisa dikategorikan sebagai lebih tertinggal daripada Indonesia, tetapi saat ini justru memiliki kecenderungan tata pemerintahan yang lebih baik.
Banyak agenda-agenda yang harus dilakukan oleh pemerintahan SBY-Boediono dalam konteks mewujudkan good governance. Agenda-agenda tersebut antara lain:
1.    Agenda pemberantasan korupsi, merupakan salah satu tantangan yang paling berat bagi pemerintahan SBY-Boediono beserta kabinetnya. Pemanasan politik melalui Bank Century dan berbagai macam jenis penyuapan sebagaimana yang disinyalir melalui  fenomena Markus “makelar kasus” merupakan pekerjaan rumah yang tidak ringan bagi pemerintahan SBY-Boediono lima tahun mendatang. Belum lagi berbagai korupsi yang berpotensi terjadi dari level pemerintahan pusat hingga pemerintahan daerah dan desa juga merupakan problem bangsa yang tidak kalah beratnya.  Kolusi antara pejabat dan pengusaha dengan berbagai modus operandinya, juga tema lain korupsi yang harus diberantas oleh pemerintahan baru SBY-Boediono ini.
2.    Agenda pemberantasan kemiskinan, merupakan salah satu tugas pokok yang harus dijalankan dalam rangka perwujudan good governance di era pemerintahan SBY-Boediono ini.  Penyediaan fasilitas umum dan peningkatan kesejahteraan rakyat yang berarti tidak adanya kemiskinan merupakan ultimate goal dari tata kelola pemerintahan yang baik.  Penyelenggaraan pemerintahan secara transparan, akuntabel dan berkeadilan adalah berdimensi untuk memberantas kemiskinan dan meningkatkan kepuasan dan kesejahteraan rakyat.  Pemerintahan yang efektif tentu harus menempatkan pemberantasan kemiskinan sebagai upaya utama dalam policy mainstream dan konsentrasi kebijakan publiknya.

3.    Agenda reformasi birokrasi ditujukan untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi pemerintahan dari tingkat pusat hingga tingkat daerah  sehingga berbagai pencapaian-pencapaian pembangunan nasional dan daerah dapat diraih oleh pemerintahan SBY-Boediono ini.  Reformasi birokrasi tentu harus dilakukan bukan saja dalam kerangka struktur tetapi  juga kerangka fungsi  yang lebih efektif dan efisien. Konsepsi miskin struktur kaya fungsi seharusnya bukan hanya sekedar jargon semata, tetapi harus ada upaya-upaya implementatif dalam tataran kebijakan, program dan kegiatan pemerintahan di semua tingkatan. Reformasi birokrasi juga membutuhkan paradigma pelayanan birokrasi yang dari bersifat governing menjadi serving.

4.    Agenda peningkatan pelayanan  publik merupakan salah satu tindaklanjut dari reformasi birokrasi.  Pelayanan publik harus menjadi fokus utama dari keberadaan suatu pemerintahan (Denhardt & Denhardt, 2000: 50-52). Good governance juga pada hasil akhirnya dimaksudkan untuk meningkatkan pelayanan publik menuju tercapainya kesejahteraan publik. Program-program  reformasi pelayanan publik harus diteruskan dalam pemerintahan ini agar efektivitas dan efisiensinya tercapai. Program-program tersebut antara lain, seperti, OSS (One Stop Services),  mekanisme pengaduan, standard kompetensi jabatan,  pelayanan pertanahan, dan sebagainya.

5.    Agenda pelayanan hukum yang fair, adil dan setara merupakan salah satu agenda besar pemerintahan SBY-Boediono yang harus diprioritaskan. Contoh kasus  hukum yang menimpa masyarakat tidak mampu, seperti yang menimpa Mbah Mina di Kabupaten Banyumas dengan “pencurian” 3 (tiga) buah kakao mendapatkan ganjaran tahanan 3 (tiga) bulan percobaan, Basar Suyanto dan Kholil, dua orang petani di Kabupaten Kediri dengan tuduhan mencuri 1 (satu) buah semangka divonis penjara  selama 2 (dua) bulan. Jika dibandingkan dengan korupsi yang dilakukan oleh para elite negeri ini membuktikan bahwa hukum belum benar-benar melindungi masyarakat lemah karena tidak adil perlakuannya. Kasus Prita Mulyasari  juga memberikan buklti bahwa hukum tidak hanya harus mengabdi pada asas kepastian hukum (rechtmatigheid) semata tetapi juga harus mengabdi pada 2 (dua) asas hukum yang lain yaitu asas keadilan dan kemanfaatan (doelmatigheid).  Sementara itu kepedulian sosial (Gerakan Kepedulian “Coin untuk Prita” dari tukang becak, pengamen hingga pejabat publik) yang tinggi yang muncul dari kasus hukum Prita Mulyasari sesungguhnya merupakan suatu sindiran hukum terhadap proses peradilan di Indonesia yang tidak fair. Akibat lebih jauh, seharusnya reformasi hukum juga harus menyentuh aspek-aspek nurani sosial.

6.    Agenda peningkatan partisipasi efektif dalam sosial, politik dan ekonomi. Artinya pemerintah harus memberikan terobosan dan peluang yang lebih inovatif, yang lebih memungkinkan partisipasi masyarakat dan sektor privat agar lebih berkembang secara efektif dan efisien. Konsultasi publik, dialog publik, forum pertemuan dengan berbagai stakeholders harus ditingkatkan sehingga mampu mendorong komitmen bersama untuk pembangunan sosial, ekonomi dan politik. Forum Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) seharusnya ditata kembali sehingga bukan hanya menjadi pertemuan formal perencanaan tetapi harus benar-benar merupakan forum yang mewakili semua elemen masyarakat.

7.    Agenda peningkatan kualitas demokrasi dan lembaga-lembaga politik.
Partai politik dan lembaga-lembaga produk proses politik dan pemilu seperti halnya DPD, DPR, DPRD kabupaten-kota harus didorong dan didukung kapasitasnya sehinga benar-benar menjadi lembaga perwakilan rakyat yang memang harus menyalurkan aspirasi rakyat. Kepedulian dan kapasitas politik anggota perwakilan secara terus menerus harus di back up dan di berdayakan melalui berbagai metode.

8.    Agenda peningkatan efektivitas otonomi daerah. Dimaksudkan untuk meningkatkan kapasitas pemerintah daerah didalam penyelengaraan otonomi daerah. Prinsip-prinsip good governance harus menjadi dasar aktivitas penyelengaraan fungsi pemerintahan daerah. Pada tahap pertama, 4 (empat) variavel pokok good governance harus diimplementasikan dalam tata kelola pemerintahan daerah yang meliputi variabel kepastian hukum, partisipasi, transparansi dan akuntanbilitas. Pengembangan electronic government merupakan salah satu cara yang bisa ditempuh untuk meningkatkan efektivitas pelaksanaan ke 4 (empat) varabel pokok ini.

9.    Agenda pemberdayaan perempuan dan kelompok terpinggirkan menjadi pusat perhatian penting yang harus diprioritaskan oleh pemerintahan SBY-Boediono dalam pemerintahan 5 (lima) tahun ini. Program-program pemberdayaan perempuan ini diantaranya adalah: peningkatan keterwakilan perempuan di lembaga-lembaga perwakilan, peningkatan pendidikan, dan perlunya affirmative actions yang memang betul-betul dibutuhkan oleh kaum perempuan.


PENUTUP

Tantangan mewujudkan good governance di era pemerintahan SBY-Boediono tidaklah ringan. Berbagai kebijakan dan alternatif pemecahan masalah harus dilakukan dari tingkat yang paling dasar. Persoalan-persoalan seperti kasus Bank Century, Bibit Candra, Prita Mulyasari, Mbah Minah dan lain-lain merupakan kasus-kasus diawal pemerintahan SBY-Boediono yang sangat berpengaruh terhadap kinerja dan kepercayaan publik di pemerintahan ini.
Dibutuhkan strategi politik dan kebijakan yang tepat untuk mengatasi berbagai permasalahan yang menyangkut 9 (sembilan) agenda pokok sebagaimana tersebut di atas yang mestinya diletakkan sebagai prioritas dalam pemerintahan SBY-Boediono 2009-2014 ini.

Daftar Pustaka

Corbett, D., Reforming the Public Sector, Allen & Unwin, NSW, 2000
Denhardt, RB & Denhardt, JV, “The New Public Service”, Public Administration Review (PAR), Vol. 60 No. 6, 2000

Keating, M, “The Public Service: Independence, Responsibility and Responsiveness, Australian Journal of Public Administration,Vol 58 No. 1, Tokyo, Tokyo University Press,1999, hal 39-47

Oyugi, W.O, Good Governance and Local Government, Tokyo, Tokyo University Press, 2000

Bappenas, Modul Penerapan Tata Kepemerintahan  Yang Baik (Good Public Governance) di Indonesia. Jakarta, 2008



No comments:

Post a Comment